Bhinneka Tunggal Ika Berasal Dari Bahasa Kawi Yang Memiliki Arti
Bersifat Konvergen
Bersifat Konvergen maksudnya segala keanekaragaman bukan untuk dibesar-besarkan, tetapi harus dicari titik temu yang dapat membuat segala kepentingan bertemu di tengah. Hal ini dapat dicapai jika terdapat sikap toleran, saling percaya, rukun, non sektarian, dan inklusif di antara masyarakat.
Musyawarah untuk Mufakat
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dengan adanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka jika terdapat perbedaan yang ada pada antar kelompok maupun pribadi wajib dicari solusinya secara bersama-sama dengan musyawarah.
Seperti halnya dengan prinsip common denominator atau yang dikenal dengan mencari inti kesamaan. Hal ini kemudian juga sebaiknya diterapkan dalam melakukan musyawarah untuk mufakat. Dengan adanya beragam gagasan yang semuanya kemudian dirangkum menjadi satu kesepakatan. Dengan begitu kesepakatan disini bertujuan untuk mencapai mufakat pada pribadi maupun kelompok.
Masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat adat yang secara sosiologis memiliki ikatan dalam kelompok (suku atau etnik) yang sangat kuat. Meski demikian dalam konteks ke-Indonesian, ikatan yang berupa sentimen- sentimen suku (daerah asal) atau agama ternyata dapat direduksi demi terbangunnya rasa kebangsaan.
Arus globalisasi yang kian deras telah membawa serta nilai-nilai baru yang tidak sepenuhnya dapat diakomodasi atau dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Nilai-nilai baru cenderung melonggarkan ikatan kebangsaan, dan mengkhawatirkan bagi masa depan persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah nasional Indonesia.
Karenanya sangat dibutuhkan upaya menyegarkan kembali pemahaman akan nilai-nilai kebangsaan yang merupakan ciri kepribadian masyarakat Indonesia.
Pemantapan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika, sebagai ajaran moral tentang sikap toleran, adil dan bergotong royong merupakan strategi yang tepat untuk mengatasi nilai-nilai baru yang cenderung bergesekan.
Contoh perilaku yang mencerminkan “Bhinneka Tunggal Ika” :
Demikian informasi seputar Bhinneka Tunggal Ika, Semoga Bermanfaat!
Baca juga artikel terkait dengan “Arti & Makna Bhineka Tunggal Ika” :
Jika Anda ingin menggali lebih tentang Pancasila secara lebih komprehensif, miliki segera buku di www.gramedia.com.
1. Pendidikan Pancasila
2. Falsafah Pancasila Epistemologi Keislaman Kebangsaan
3. Pancasila Rumah Bersama
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa Indonesia dan menjadi lambang negara yang tertulis pada Garuda Pancasila. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk memahami lebih lanjut tentang Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia, simak penjelasannya berikut ini.
Semangat Gotong-Royong
Semangat gotong-royong tidak melulu tentang bahu-membahu membersihkan lingkungan, atau menjaga keamanan lingkungan sekitar rumahmu. Tapi juga pada semangat gotong-royong dalam melawan hoax atau berita bohong yang kini tersebar dimana-mana atas nama clickbait.
Biasakan untuk memverifikasi data atau berita yang diterima dan ingin disebarkan. Karena jejak digital sangat sulit untuk dihilangkan, pasalanya, setiap harinya, ada ribuah hoax yang menyebar dan siap merusak generasi dan keBhinnekaan negara ini.
Dalam menguatkan sifat gotong royong yang kita miliki dan jiwa kebangsaan, demokrasi, huku, serta multikultural dalam mendukung terwujudnya warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya, buku Meneguhkan Jiwa Dan Semangat Nasionalisme merupakan referensi yang tepat untuk Grameds.
B. Sejarah Singkat Bhinneka Tunggal Ika
Pada awalnya, Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang menunjukan semangat toleransi keagamaan, khususnya antara agama Hindu dan Buddha.
Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” dipetik dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Istilah tersebut ter- cantum dalam bait 5 pupuh 139. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Menurut jurnal dari Letkol Czi Dr. Syafril Hidayat, psc, M.Sc tentang Bhinneka Tunggal Ika, dalam buku Bung Hatta Menjawab (1979), Mohammad Hatta menuliskan bahwa usai merdeka, semboyan ini dicantumkan dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid (di Pontianak) dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950 sebagai semboyan lambang negara.
Melalui semboyan ini, Indonesia kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bhinneka Tunggal Ika sendiri diteliti pertama kali oleh Prof. H. Kern (1888). Semboyan ini sendiri pada mulanya tertera dalam lontar yang tersimpan di Perpustakaan Kota Leiden (Purusadasanta atau Sutasoma).
Semboyan ini kemudian diteliti kembali oleh Muhammad Yamin di tahun-tahun berikutnya dan kemudian ia tuliskan di dalam bukunya 6000 tahun Sang Merah Putih pada tahun 1954.
Sejarah semboyan Bhinneka Tunggal Ika menempuh proses evolusi dan kristalisasi mulai sebelum kemerdekaan, pergerakan nasional 1928 sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tahun 1945.
Setelah dijadikan sebagai semboyan Bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika menjadi pernyataan bangsa Indonesia yang mengakui realitas bangsa yang majemuk namun tetap menjunjung tinggi persatuan.
Baca juga : Sejarah Lambang Garuda Pancasila
B. Sejarah Singkat Bhinneka Tunggal Ika
Pada awalnya, Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang menunjukan semangat toleransi keagamaan, khususnya antara agama Hindu dan Buddha.
Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” dipetik dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Istilah tersebut ter- cantum dalam bait 5 pupuh 139. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Menurut jurnal dari Letkol Czi Dr. Syafril Hidayat, psc, M.Sc tentang Bhinneka Tunggal Ika, dalam buku Bung Hatta Menjawab (1979), Mohammad Hatta menuliskan bahwa usai merdeka, semboyan ini dicantumkan dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid (di Pontianak) dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950 sebagai semboyan lambang negara.
Melalui semboyan ini, Indonesia kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bhinneka Tunggal Ika sendiri diteliti pertama kali oleh Prof. H. Kern (1888). Semboyan ini sendiri pada mulanya tertera dalam lontar yang tersimpan di Perpustakaan Kota Leiden (Purusadasanta atau Sutasoma).
Semboyan ini kemudian diteliti kembali oleh Muhammad Yamin di tahun-tahun berikutnya dan kemudian ia tuliskan di dalam bukunya 6000 tahun Sang Merah Putih pada tahun 1954.
Sejarah semboyan Bhinneka Tunggal Ika menempuh proses evolusi dan kristalisasi mulai sebelum kemerdekaan, pergerakan nasional 1928 sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tahun 1945.
Setelah dijadikan sebagai semboyan Bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika menjadi pernyataan bangsa Indonesia yang mengakui realitas bangsa yang majemuk namun tetap menjunjung tinggi persatuan.
Baca juga : Sejarah Lambang Garuda Pancasila
Tidak Sektarian dan Enklusif
Tidak Sektarian dan Eksklusif maksudnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara setiap rakyat Indonesia tidak dibenarkan untuk menganggap bahwa diri atau kelompoknya sebagai yang paling benar dibanding orang atau kelompok lain.
Pandangan-pandangan sektarian dan eksklusif harus dihilangkan, karena ketika sifat sektarian dan eksklusif sudah terbentuk, maka akan ada banyak konflik yang terjadi dikarenakan kecemburuan, kecurigaan, sikap yang berlebih-lebihan serta kurang memperhitungkan keberadaan kelompok atau pribadi lain.
Bhinneka Tunggal Ika sifatnya universal dan menyeluruh. Hal ini dilandasi oleh adanya rasa cinta mencintai, rasa hormat menghormati, saling percaya mempercayai, dan saling rukun antar sesama. Dengan cara tersebutlah keanekaragaman kemudian dapat disatukan dalam bingkai ke-Indonesiaan.
Bukan Ciptaan Bung Karno
Dalam buku karangan Mohammad Hatta yang berjudul Bung Hatta Menjawab, dituliskan bahwa Bung Karno Lah yang menciptakan istilah “Bhinneka Tunggal Ika”, maksudnya bukan Bung Karno yang menciptakan, namun ialah yang mengusulkan ditambahkannya frasa tersebut ke dalam pita yang dicengkeram oleh Burung Garuda.
Burung garuda sendiri tadinya didesain mencengkeram bendera merah putih namun kemudian diganti dengan pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika yang digunakan sebagai semboyan negara maknanya mempersatukan keberagaman.
Burung garuda sendiri menggunakan perisai, sebagai bentuk tenaga pembangun pada peradaban Indonesia. Burung garuda dari mitologi ini bersanding erat dengan burung elang rajawali. Burung yang terlukis pada beberapa candi, termasuk Dieng, Prambanan dan Penataran.
Bukan Hanya tentang Persatuan Suku
Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya tentang perbedaan suku budaya yang harus disatukan, tetapi juga perbedaan pemikiran. Menurut Sultan Hamid, Soekarno menggambarkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai persatuan pemikiran federalis dan kesatuan di Republik Indonesia Serikat (nama Indonesia pada saat itu).
Tersimpan di Perpustakaan Leiden
Dengan eratnya kaitan antara Nusantara dan Belanda. Transkrip Sutasoma kemudian menjadi salah satu arsip yang tersimpan di Perpustakaan Leiden, dengan bait yang mengandung istilah Bhinneka Tunggal Ika tersebut berada pada lembar ke 120 lontar Sutasoma.
Indonesian national motto
Bhinneka Tunggal Ika is the official national motto of Indonesia. It is inscribed in the national emblem of Indonesia, the Garuda Pancasila, written on the scroll gripped by the Garuda's claws. The phrase comes from Old Javanese, meaning "Unity in Diversity," and is enshrined in article 36A of the Constitution of Indonesia. The motto refers to the unity and integrity of Indonesia, a nation consisting of various cultures, regional languages, races, ethnicities, religions, and beliefs.
The phrase is a quotation from an Old Javanese poem Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular, a famous poet of Javanese literature during the reign of the Majapahit empire in the 14th century, under the reign of King Rājasanagara (also known as Hayam Wuruk).
Translated word for word, bhinnêka is a sandhi form of bhinna meaning "different"; the word tunggal means "one" and the word ika means "it". Literally, Bhinneka Tunggal Ika is translated as "It is different, [yet] it is one". Conventionally, the phrase is translated as "Unity in Diversity",[1] which means that despite being diverse, the Indonesian people are still one unit. This motto is used to describe the unity and integrity of Indonesia which consists of various cultures, regional languages, races, ethnicities, religions, and beliefs. As head of the Faculty of Philosophy of Gadjah Mada University, Rizal Mustansyir, writes, "the motto of Bhinneka Tunggal Ika explains clearly that there is diversity in various aspects of life that makes the Indonesian nation a unified nation."[2]
The phrase originated from the Old Javanese poem Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular a famous poet of Javanese Literature during the reign of the Majapahit empire sometime in the 14th century, under the reign of King Rājasanagara, also known as Hayam Wuruk.[3] The Kakawin contains epic poems written in metres. The poem is notable as it promotes tolerance between Hindus (especially Shivaites) and Buddhists.[4]
The phrase Bhinneka Tunggal Ika was published in an article entitled Verspreide Geschriften which was written by a Dutch linguist orientalist Johan Hendrik Casper Kern. Kern's writings were later read by Mohammad Yamin, who then brought the phrase to the first Investigating Committee for Preparatory Work for Independence (BPUPK) session, between 29 May to 1 June 1945.[5]
The motto Bhinneka Tunggal Ika was later incorporated into the state emblem, the Garuda Pancasila. Reporting from the Directorate General of Culture of the Republic of Indonesia, the state symbol was designed by Sultan Hamid II and announced to the public on 15 February 1950.[6]
The phrase, along with Pancasila as national emblem and 20 other articles, is officially included into the Constitution of Indonesia after the second amendment of the constitution was ratified on People's Consultative Assembly (MPR) parliamentary session in 7–18 August 2000.[7][8]
This quotation comes from canto 139, stanza 5. The full stanza reads as follows:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
It is said that the well-known Buddha and Shiva are two different substances. They are indeed different, yet how is it possible to recognise their difference in a glance, since the truth of Jina (Buddha) and the truth of Shiva is one. They are indeed different, but they are of the same kind, as there is no duality in Truth.
This translation is based, with minor adaptations, on the critical text edition by Soewito Santoso.[1]
This idea is a constant theme throughout Mpu Tantular's writings and can also be found in his other writing, the Kakawin Arjunawijaya, canto 27 stanza 2:[9][10]
ndan kantênanya, haji, tan hana bheda saṅ hyaṅ hyaṅ Buddha rakwa kalawan Śiwarājadewa kālih samêka sira saṅ pinakeṣṭi dharma riṅ dharma sīma tuwi yan lêpas adwitīya
Clearly then, Your Majesty, there is no distinction between the Deities: the hyaṅ Buddha and Siwa, the lord of gods, both are the same, they are the goals of the religions; in the dharma sīma as well as in the dharma lêpas they are second to none.
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara Indonesia yaitu Garuda Pancasila. Semboyan negara ini menggambarkan kondisi Indonesia yang mempunyai banyak keragaman suku, budaya, adat dan agama namun tetap menjadi satu bangsa utuh.[1] Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah “Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.[2]
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan demikian sangat wajar apabila mempunyai banyak suku, agama, ras, dan antar golongan. Keragaman tersebut hidup saling menghormati dan menghargai dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.[3]
Kata bhinnêka berasal dari dua kata yang mengalami sandi, yaitu bhinna 'terpisah, berbeda' dan ika 'itu'. Kata tunggal berarti 'satu'. Secara harfiah, Bhinneka Tunggal Ika secara eksplisit dapat diartikan "Berbeda itu tetap satu", yang bermakna meskipun dalam aneka keberanekaragaman — pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh nan kokoh. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam adat, istiadat dan budaya, serta bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan serta kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular sekitar abad ke-14, di bawah pemerintahan Raja Rājasanagara, yang juga dikenal sebagai Hayam Wuruk Maharaja ke-4 Majapahit yang memerintah tahun 1350–1389, Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.[4]
Tujuan dari Bhinneka Tunggal Ika adalah untuk mengembangkan motivasi dan menghargai keragaman. Tanpa wawasan tersebut, akan sulit untuk memajukan kedaulatan dan kemerdekaan nasional Indonesia.
Cita-cita tersebut menjadi landasan nasionalisme masyarakat Indonesia. Tujuan dari kebangkitan nasionalis yang dipimpin Bhinneka Tunggal Ika adalah untuk menanamkan loyalitas dan dedikasi pada masyarakat dan bangsa.[1]
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Terjemahan ini didasarkan, dengan adaptasi kecil, pada edisi teks kritis oleh Dr. Soewito Santoso.[5]
Tarian dengan peserta berpakaian adat suku-suku di Indonesia.
Arak-arakan dengan tulisan "Bhinneka Tunggal Ika" menampilkan anak-anak dengan baju adat berbagai suku di Indonesia.
Penyanyi-penyanyi mengenakan pakaian adat di Indonesia
Anak-anak berpakaian adat daerah, umumnya digunakan untuk mengekspresikan keanekaragaman Indonesia.
Karnaval baju daerah untuk menunjukkan keberagaman budaya.
Unity in Diversity, the official national motto of Indonesia
From Simple English Wikipedia, the free encyclopedia
Bhinneka Tunggal Ika (English: "It is different, [yet] it is one") is Indonesia's official national motto. It's written on the emblem of Indonesia, called the Garuda Pancasila. The phrase means "Unity in Diversity" in Old Javanese. This motto is also in Indonesia's Constitution, in article 36A. It talks about Indonesia being united and whole even though it has many cultures, languages, ethnicities, religions, and beliefs.[1]
The words come from an Old Javanese poem called Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular, a famous poet in Javanese Literature during the time of the Majapahit empire in the 14th century. King Rājasanagara, also known as Hayam Wuruk, was ruling then.[2]
Sejarah Bhinneka Tunggal Ika – Bangsa Indonesia dan Keragamannya baik dari segi agama, warna kulit, suku bangsa, bahasa, yang kemudian menjadikannya sebagai bangsa majemuk dan berdaulat. Hal ini dapat dilihat dari menuju detik-detik kemerdekaan hampir seluruh anak bangsa yang tergabung dari berbagai suku turut memperjuangkan kemerdekaan.
Para tokoh bangsa sendiri kemudian menyadari tantangan yang harus mereka hadapi karena kemajemukan tersebut. Keberagaman ini kemudian menjadi realitas yang tak dapat dihindari adanya. KeBhinnekaan sebagai sebuah hakikat realitas yang sudah ada dalam bangsa, sedangkan ke-Tunggal-Ika-an merupakan cita-cita kebangsaan.
Semboyan inilah yang kemudian menjadi jembatan penghubung menuju terbentuknya Negara berdaulat. Simak penjelasan lebih lengkapnya mengenai Bhinneka Tunggal Ika Berikut ini: